Beranda | Artikel
Sikap Seorang Muslim Terhadap Wabah Virus Corona - Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas
Senin, 23 Maret 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas

Sikap Seorang Muslim Terhadap Wabah Virus Corona adalah Kajian bersama Ustadz Yazid Abdul Qadir Jawas pada hari Sabtu, 12 Rajab 1441 H /07 Maret 2020 M.

Ceramah Agama Tentang Sikap Seorang Muslim Terhadap Wabah Virus Corona

Untuk hari ini kita akan membahas sikap seorang muslim terhadap wabah virus corona yang menyebar di mana-mana dan juga membuat sebagian kaum muslimin panik, juga sebagian negara pun demikian. Maka kita akan bahas bagaimana menurut syariat Islam.

Kita akan bahas beberapa poin, supaya mudah mencatatnya:

1. Hanya ada satu Ilah

Yang pertama, seorang muslim wajib mengimani dan meyakini bahwa di alam semesta ini hanya ada satu Ilah/satu Tuhan, yaitu yang mengatur alama semesta ini, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman:

وَإِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَّا إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَـٰنُ الرَّحِيمُ ﴿١٦٣﴾

Dan Ilah kamu Ilah yang satu, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.” (QS. Al-Baqarah[2]: 163)

Allah menyebutkan Ilah itu hanya satu. Jadi yang mengatur alam semesta ini dan semuanya hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan seandainya ada dua Tuhan, akan hancur alam semesta ini. Makanya Allah menyebutkan didalam surah Al-Anbiya ayat 22, Allah berfirman:

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّـهُ لَفَسَدَتَا ۚ فَسُبْحَانَ اللَّـهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ ﴿٢٢﴾

Kalau seandainya pada langit dan bumi ini ada beberapa Tuhan selain Allah, maka akan hancur langit dan bumi ini. Maha Suci Allah Rabb ‘Arsy yang agung dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiya[21]: 22)

Kemudian di ayat 23 Allah berfirman:

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ ﴿٢٣﴾

Allah tidak boleh ditanya tentang apa yang Allah perbuat, dan mereka pasti akan ditanya oleh Allah.” (QS. Al-Anbiya[21]: 23)

Tentang yang Allah lakukan di langit dan di bumi, Allah ngga boleh ditanya. Tapi mereka pasti akan ditanya.

Dan kita wajib mengimani dan meyakini bahwa apa saja yang terjadi di langit dan di bumi dan di antara keduanya dan di seluruh alam semesta, itu tidak lepas dari pada kehendak Allah. Adanya kehidupan, adanya kematian, adanya penciptaan, pemberian rezeki, adanya wabah penyakit, adanya gempa, adanya banjir, adanya peperangan, adanya pembunuham, semuanya tidak lepas dari kehendak Allah. Ini wajib kita yakini sebagai seorang mukmin.

Apa yang terjadi di langit dan di bumi tidak lepas dari pada kehendak Allah dan Allah berbuat menurut apa yang Allah kehendaki. Allah berfirman:

وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ ﴿١٤﴾ ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ ﴿١٥﴾ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ ﴿١٦﴾

Allah yang Maha Pengampun dan Allah Maha Penyayang. Allah yang mempunyai ‘Arsy yang mulia dan Allah berbuat menurut apa yang Allah inginkan.” (QS. Al-Buruj[85]: 14-16)

Allah berbuat dengan apa yang Allah kehendaki. Dan setiap apa yang dikehendaki oleh Allah, itu berjalan dengan ilmunya Allah dan berjalan dengan hikmah Allah. Apa yang Allah kehendaki di langit dan di bumi, tidak lepas dari pada ilmunya Allah dan hikmahnya. Makanya Allah berfirman dalam surah Al-Insan:

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّـهُ ۚ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿٣٠﴾

Dan tidaklah mereka berkehendak melainkan apa yang dikehendaki oleh Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui dan Allah itu Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insan[76]: 30)

Jadi semua yang terjadi di langit dan di bumi tidak lepas dari hikmahnya Allah. Maka dalam Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, pada poin yang ke-40. Ketika kita berbicara masalah iman kepada qadar (takdir baik dan buruk). Saya sebutkan ada 4 tingkatan (di halaman 336 dalam buku Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah):

1. Ilmu
Bahwa ilmunya Allah meliputi segala sesuatu. Tidak ada satupun yang terluput dari ilmunya Allah. Apa yang terjadi di langit dan di bumi, Allah pasti mengetahuinya. Tidak ada satupun yang tidak diketahui oleh Allah. Sekecil apapun pasti Allah tahu.

قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Ilmunya Allah meliputi segala sesuatu.” (QS. At-Thalaq[65]: 12)

Dan Allah berfirman:

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ ﴿٥٩﴾

Kunci-kunci semua yang ghaib itu hanya ada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Tidak ada sehelai daunpun yang gugur yang Allah tidak mengetahuinya (artinya satu helai daun yang gugur melainkan Allah mengetahuinya). Tidak ada sebutir biji pun didalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering semuanya tertulis didalam kitab yang nyata di Lauhul Mahfudz. (QS. Al-An’am[6]:: 59)

Artinya semua Allah tahu. Daun yang kering yang basah di seluruh dunia Allah mengetahui, semuanya Allah yang mengatur. Biji-bijian yang tumbuh, semuanya Allah mengetahui. Dan semuanya telah dicatat di Lauhul Mahfudz.

2. Allah sudah mencatat semuanya

Apa yang terjadi di langit dan di bumi ini, semua sudah tercatat di Lauhul Mahfudz. Tidak ada satupun yang terluput sama sekali dari makhluk yang diciptakan Allah, diberikan rezekinya, ditentukan ajalnya, dan begitu juga kehidupan mereka bahagia atau tidak, itu semua sudah tercatat. Sampai manusia masuk surga atau masuk neraka, semua sudah tercatat. Apalagi tentang berbagai macam kejadian yang ada di langit dan di bumi, itu semua sudah tercatat.

Ini semua ditulis oleh Allah 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ : اكْتُبْ ، قَالَ : رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ ؟ قَالَ : اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَ

“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah qalam. Lalu Allah berfirman kepada qalam itu: ‘tulislah’, ia menjawab: ‘Wahai Rabbku, apa yang aku harus tulis?’, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya kiamat.`” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As-Sunnah, Al-Ajurri, Ahmad, hadits ini shahih)

Allah juga berfirman dalam surat A-Hajj ayat 70:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّـهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّـهِ يَسِيرٌ ﴿٧٠﴾

Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang di langit dan di bumi, sungguh yang demikian sudah terdapat dalam sebuah kitab Lauhul Mahfudz, sesuai yang demikian itu sangat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj[22]: 70)

3. Mengimani kehendak Allah yang pasti terlaksana

Mengimani kehendak Allah yang pasti terlaksana dan kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu. Semua yang terjadi di langit dan bumi tidak lepas dari pada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Segala sesuatu Allah yang menciptakannya

اللَّـهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ ﴿٦٢﴾

Allah pencipta segala sesuatu dan Allah pemelihara segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar[39]: 62)

Allah juga berfirman:

وَاللَّـهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ ﴿٩٦﴾

Dan Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaffat[37]: 96)

Ini 4 tingkatan yang wajib kita imani. Maka berkaitan dengan apa yang terjadi, apakah tentang bencana, musibah, petaka, wabah virus corona, gempa, banjir, terjadinya peperangan, pembunuhan, semuanya sudah tercatat di Lauhul Mahfudz. Dan semua berjalan dengan kehendak Allah. Seperti yang sudah saya sebutkan, bahwa ini tidak lepas dari ilmunya Allah dan juga hikmahnya Allah. Bahwa Allah:

إِنَّ اللَّـهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿٣٠﴾

Allah itu Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insan[76]: 30)

Dan hikmah Allah tidak bisa kita ketahui semuanya. Ribuan hikmah terhadap apa yang semua terjadi. Al-Imam Ibnul Qayyim menyebutkan di dalam kitabnya tentang hikmah Allah, di dalam kitabnya:

شفاء العليل في مسائل القضاء والقدر والحكمة والتعليل

Kata Al-Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah, “Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusannya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah, namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita sangat sedikit, dan ilmu semua makhluk akan sia-sia tidak ada artinya jika dibandingkan dengan ilmunya Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya ilmu seluruh makhluk ini dibandingkan dengan ilmunya Allah, itu nggak sebanding). Sebagaimana sinar lampu yang sia-sia tidak ada artinya di bawah sinar matahari. Dan ini pun hanya gambaran saja, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini.”

Jadi Allah mempunyai semua urusan sebagaimana Allah berfirman:

لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّـهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Bagi Allah itu semua ciptaan, bagi Allah semua urusan. Dan Allah Maha Suci Rabbul ‘Alamin.” (QS. Al-A’raf[7]: 54)

2. Apa yang terjadi tidak lepas dari perbuatan manusia dan dosa-dosa manusia

Sikap seorang muslim tatkala menghadapi malapetaka, menghadapi bencana atau wabah penyakit seperti yang sekarang wabah penyakit corona. Seorang muslim harus melihat kepada diri, melihat kepada keluarga, melihat kepada masyarakat, tentang dosa-dosa apa yang mereka telah kerjakan. Sebab apa yang terjadi tidak lepas dari perbuatan manusia dan dosa-dosa manusia. Allah berfirman:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ ﴿٣٠﴾

Apa saja musibah yang menimpa kalian dengan sebab dosa-dosa kalian dan Allah banyak memberikan maaf kepada kalian.” (QS. Asy-Syura`[42]: 30)

Di sini Allah menyebutkan bahwa apa saja yang menimpa kita itu sebabnya dosa. Dan kerusakan yang ada juga disebabkan karena perbuatan manusia, kerusakan yang ada ini disebabkan karena perbuatan manusia. Kalau kita lihat terjadinya kerusakan di daratan dan di lautan dengan perbuatan dosa manusia. Allah berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾

Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan dengan sebab tangan-tangan manusia agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari apa yang mereka kerjakan agar mereka kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Ar-Rum[30]: 41)

Kemudian di ayat 42, Allah berfirman:

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِن قَبْلُ ۚ كَانَ أَكْثَرُهُم مُّشْرِكِينَ ﴿٤٢﴾

Maka berjalanlah di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibat orang-orang sebelum kalian, kebanyakan mereka berbuat syirik kepada Allah.” (QS. Ar-Rum[30]: 42)

Kalau kita lihat apa yang terjadi ini, tidak lepas dari dosa-dosa besar manusia. Dosa yang paling besar, syirik. Banyak orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menduakan Allah, memalingkan ibadah kepada selain Allah, ini kesyirikan. Maka Allah memberikan hukuman akibat perbuatan mereka.

Dan Allah juga menyebutkan di dalam ayat yang lain, bahwa semuanya dengan sebab manusia. Dalam surat An-Nisa ayat 79, apa yang mengenai kita itu sebab dosa kita.

مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّـهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّـهِ شَهِيدًا ﴿٧٩﴾

Dan apa saja yang menimpa kamu dari kebaikan, itu dari Allah. Dan apa saja yang menimpa kamu dari kejelekan, dengan sebab dosa-dosa kamu. Dan Kami utus untuk manusia seorang Rasul. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. An-Nisa[4]: 79)

Artinya Allah telah mengutus kepada manusia ini seorang Rasul. Dan RasulNya sudah menjelaskan. Bagaimana amal-amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan juga menjelaskan amal-amal yang membawa ke surga dan amal-amal yang membawa manusia ke neraka.

Jadi apa yang menimpa manusia dengan sebab dosa manusia, dengan sebab perbuatan mereka. Bahkan Allah menyebutkan dalam ayat yang lain, kalau seandainya Allah adzab manusia dengan sebab perbuatan dosa manusia, tidak ada yang tertinggal di muka bumi ini, semua dibinasakan oleh Allah. Cuma Allah tunggu, dikasih waktu. Kalau Allah mau, dihabiskan semuanya. Karena dosa  yang dilakukan sudah banyak. Dosa apa yang tidak dilakukan? Apalagi kalau kita lihat di negeri kita, di Indonesia ini semua dosa dilakukan. Kesyirikan, pendustaan kepada Allah dan RasulNya, penghinaan kepada Rasulullah dan yang lainnya. Belum lagi dosa bid’ah, dosa-dosa besar dan lainnya.

Kalau seandainya Allah mau, Allah adzab semuanya dan tidak ditinggalkan sedikitpun juga. Sampai binatang ternak. Allah sebutkan surah Fatir, Allah berfirman:

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّـهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَىٰ ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ وَلَـٰكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّـهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا ﴿٤٥﴾

“Kalau seandainya Allah menghendaki untuk megadzab manusia dengan sebab perbuatan dosa mereka, Allah tidak akan menyisakan sedikitpun di atas muka bumi ini satu binatang melata pun juga. Akan tetapi Allah menangguhkan  sampai waktu yang sudah ditentukan. Apabila sudah datang ajal mereka, maka sesunggunya Allah itu Maha Melihat tentang keadaan hamba-hambaNya.” (QS. Fathir[35]: 45)

Dan juga yang sama dengan ayat ini dalam surat An-Nahl.

3. Agar manusia kembali

Diantara hikmah timbulnya wabah corona atau adanya bencana, adanya malapetaka dan yang lainnya, agar manusia ini sadar dan kembali kepada Allah. Jadi adanya wabah, adanya bencana, adanya malapetaka dan lainnya, agar manusia sadar dan manusia ini kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah menyebutkan dalam surah Al-An’am ayat 42:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَىٰ أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُم بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ ﴿٤٢﴾

Dan sungguh Kami telah mengutus Rasul-Rasul kepada umat-umat sebelum engkau kemudian Kami siksa mereka dengan menimpakan kemelaratan dan kesengsaraan agar mereka memohon kepada Allah dengan kerendahan hati.” (QS. Al-An’am[6]: 42)

Didalam tafsir Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari Rahimahullah, ketika menyebutkan الْبَأْسَاءِ (ujian ditimpakan kepada mereka berupa kemiskinan, kesempitan dalam penghidupan), sedangkan وَالضَّرَّاءِ (ujian yang ditimpakan kepada mereka berupa penyakit dan cacat yang menimpa tubuh), لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ (agar mereka itu kembali kepada Allah, agar mereka itu tunduk kepada Allah, memurnikan ibadah itu hanya kepada Allah, dia mencintai Allah, merendahkan diri kepada Allah dan taat hanya kepada Allah). Ini dalam tafsir Ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini dan juga dalam tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini.

Artinya Allah timpakan bencana atau wabah agar manusia kembali kepada Allah, agar manusia bertaubat kepada Allah, agar manusia meninggalkan kesyirikan, meninggalkan dosa dan maksiat. Dan juga kalau kita lihat lagi, diantara dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia sehingga Allah turunkan berbagai macam bencana termasuk wabah penyakit ini, karena kesombongan manusia, keangkuhan manusia, kedzaliman manusia, kesyirikan manusia dan yang lainna. Sehingga Allah timpalkan ini.

Kalau mau kita hitung dosa-dosa, banyak sekali. Kalau antum mau baca akibat setiap dosa itu, antum bisa baca bukunya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Ad Daa’ Wad Dawaa’ (penyakit dan obatnya). Jadi Allah timpakan segala macam itu dengan sebab dosa manusia.

4. Wabah dizaman sahabat

Apakah pernah terjadi wabah yang hampir sama dengan corona ini? Ada wabah penyakitmenular yang pernah terjadi di zaman para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum ‘Ajma’in. Dan Nabi menyebutkan dalam berapa hadits yang shahih tentang adanya tha’un. Disebutkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

Apabila kalian mendengar ada penyakit tha’un di satu negeri, jangan kalian masuk ke negeri itu. Apabila terjadi di satu negeri dan kalian ada padanya, jangan keluar.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Jadi ini memang ada nashnya. Ketika ada wabah penyakit menular, orang yang di dalam itu nggak boleh keluar dan yang di luar nggak boleh masuk. Itu nash, dalil. Ini Muttafaqun ‘Alaihi. Jadi kata Nabi apabila mendengar wabah tha’un melanda satu negeri, maka janganlah kamu memasukinya. Dan apabila penyakit itu melanda satu negeri dan kalian sedang berada di dalamnya, maka jangan kalian keluar.

Supaya apa? Supaya tidak menular kepada yang lain. Jadi isolasi itu aja, karantina ada. Sesuai dengan nash. Makanya disebutkan juga ketika terjadi -ini kisahnya panjang ini- dalam shahih Bukhari dan Muslim:

Kisahnya Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu ketika Umar pergi ke Syam dan kemudian disambut oleh komandan-komandan perang yang ada di Syam. Ketika Umar akan masuk, baru sampai di Saragh, dikabarkan di sana ada wabah. Kemudian Umar musyawarah dengan para sahabat. Dari mulai sahabat Muhajirin, sebagian mengatakan (untuk tetap) masuk, sedangkan sebagian mengatakan jangan. (Sahabat) Anshar demikian juga.

Kemudian terakhir Umar (bermusyawarah  kepada orang-orang tua dari kalangan Muhajirin. Menurut yang tua, jangan masuk. Tidak lama kemudian setelah Umar setuju dengan pendapat yang tua-tua untuk tidak masuk, tidak lama kemudian datang Abdurrahman bin ‘Auf. Waktu itu ada Abu Ubaidah bin Jarrah, “Kenapa Umar, kok kamu lari dari qadar Allah?” Kata Umar, “Kita lari dari qadar Allah menuju qadar Allah.” Padahal ini belum tahu nash. Tiba-tiba Abdurrahman bin ‘Auf datang dan berkata, “Aku ada ilmu tentang itu.” Maka disampaikan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

“Apabila kalian mendengar ada wabah di suatu negeri, jangan kalian datang ke tempat itu, jangan masuk. Apabila terjadi di suatu negeri yang yang kalian ada padanya, jalan kalian keluar untuk lari di negeri itu.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Setelah mendengar penjelasan ‘Abdurrahman bin ‘Auf, maka Umar memuji Allah, sesuai dengan nasihat orang-orang tua dari Muhajirin. Akhirnya Umar kembali ke Madinah. Hadits ini disepakati oleh Bukhari dan Muslim.

Dan penyakit tha’un dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika ‘Aisyah bertanya, “Ya Rasulullah, apa tha’un itu?” Nabi mengatakan:

أَنَهُ كَانَ عَذَاباً يَبْعَثُهُ اللَّه تَعَالَى عَلَى منْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ تعالَى رحْمةً للْمُؤْمنِينَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ في الطَّاعُون فَيَمْكُثُ في بلَدِهِ صَابِراً مُحْتَسِباً يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

“Bahwa tha’un itu ada yang Allah kirimkan kepada apa yang Allah kehendaki dari manusia ini. Tapi itu sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Dan tidaklah seorang hamba yang mengalami penyakit tha’un kemudian dia tinggal tetap di negerinya, tidak keluar, sabar dan mengharapkan ganjaran dari Allah dan dia meyakini bahwa tidak akan menimpa dia kecuali apa yang Allah sudah takdirkan bagi dia melainkan mainkan orang mukmin ini mendapatkan ganjaran seperti ganjaran orang yang mati syahid.” (Hadits ini shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari)

Dalam riwayat yang lain, dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan:

الطَّاعُونُ رِجْزٌ أَوْ عَذَابٌ عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَوْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“Dulu tha’un itu sebagai siksaan dan adzab atas Bani Israil atau orang-orang sebelum kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dijelaskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim, beliau memberikan definisi: Tha’un itu adalah virus yang mengenai tubuh, yaitu luka-luka yang keluar dari tubuh di siku atau di ketiak atau di tangan atau di jari-jari dan seluruh tubuh, bengkak-bengkak dan sakit yang sangat. Dan lukanya terasa panas melepuh, menjadi hitam sekitar bagian anggota tubuh atau hijau warnanya atau seperti warna merah lembayung keruh, jantung berdebar-debar dan muntah-muntah. Ini penjelasan Imam An-Nawawi.

Apakah corona itu sama dengan tha’un? Sebagian ulama mengatakan bahwa hampir sama, tapi jelas tidak sama. Antara sebab dan kejadiannya tidak sama. Tapi karena penyakit ini menular. Pada asalnya Nabi menyebutkan bahwa tidak ada penyakit menular.

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ

“Tidak ada penularan penyakit, tidak ada juga anggapan sial” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tapi Nabi menyebutkan (ketika ada sahabat yang berkata), “Ya Rasulullah, saya punya unta yang kudis dan yang lain sehat, ternyata unta ini, yang lain juga ikut kudis. Kata Nabi, “Tidak bisa unta itu dengan sendiri menularkan penyakit. Siapa yang pertama kali menyebarkan itu? Allah Rabbul ‘Alamin.”

Artinya adanya penyakit menular adalah dengan kehendak Allah. Kalau Allah tidak kehendaki, tidak terjadi. Pebuatan yang paling berbahaya adalah sihir. Bisa membunuh orang, matikan orang, membuat orang gila, menceraikan suami istri. Allah sebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 102, tapi Allah menyebutkan disitu tentang bahaya sihir:

وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ

Dan tidak ada satu pun yang bisa membahayakan seorang pun juga kecuali dengan izin Allah.” (QS. Al-Baqarah[2]: 102)

Artinya berjalan menularnya itu dengan izin Allah.

Simak penjelasan lengkapnya pada menit ke-35:24

Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Sikap Seorang Muslim Terhadap Wabah Virus Corona


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48275-sikap-seorang-muslim-terhadap-wabah-virus-corona-ustadz-yazid-abdul-qadir-jawas/